Minggu, 28 Oktober 2012

Sombong: Mewarisi Sifat Iblis

Disadari ataupun tidak, sering atau jarang, banyak atau sedikit, sikap sombong kadang menghinggapi kalbu seorang Muslim. Tak sedikit Muslim yang menyombongkan diri-atau paling tidak merasa bangga-karena kegantengan/kecantikan fisiknya, kecerdasan otaknya, kebaikan keturunannya atau keberlimpahan hartanya. Mereka lupa bahwa semua itu bukan miliknya, tetapi milik Allah SWT yang kebetulan Dia titipkan kepada dirinya. Tentu aneh kalau orang merasa bangga dan menyombongkan diri atas milik Allah SWT yang kebetulan Allah titipkan kepada dirinya. Sama anehnya saat orang membanggakan diri dan bersikap sombong atas milik orang lain-misal: rumah, mobil, perhiasan, uang atau harta lain-yang kebetulan dititipkan kepada dirinya. Persis seperti tukang parkir yang merasa bangga dan menyombongkan diri saat banyak orang menitipkan mobilnya-termasuk mobil-mobil mahal dan mewah-kepada dirinya di tempat parkir mobil yang juga bukan miliknya.Karena itu, sikap sombong dan membanggakan diri adalah sikap yang diharamkan Allah SWT. Allah SWT berfirman (yang artinya): Janganlah kalian berjalan di muka bumi dengan penuh kesombongan (TQS al-Isra’ [17]: 37).
Allah SWT pun berfirman (yang artinya): Itulah kampung akhirat yang Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menghendaki kesombongan di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Akibat kebaikan itu adalah bagi kaum yang bertakwa (TQS al-Qashash [28]: 83).
Sombong (al-kibr) hakikatnya adalah sikap merendahkan orang lain sembari ‘meninggikan’ diri sendiri. Sombong kepada Allah SWT adalah kufur karena dengan itu ia tidak akan menaati Allah SWT dan menjalankan perintah-Nya. Siapa saja yang meninggalkan perintah Allah SWT atau melanggar larangan-Nya karena menyepelekannya adalah kafir. Adapun orang yang meninggalkan perintah Allah SWT dan melanggar larangan-Nya bukan karena menyepelekannya, tetapi karena dikuasai syahwat atau bersikap lalai, maka dia berarti bermaksiat.
Sementara itu, bersikap sombong kepada manusia-jika tanpa disertai maksud merendahkan syariah-Nya-adalah juga tindakan maksiat. Namun, jika seseorang merendahkan para nabi, malaikat atau para ulama karena muncul dari sikap merendahkan ilmu (Allah) maka dia pun bisa jatuh pada kekafiran (Lihat: Muhammad ‘Alan, Dalil al-Falihin, III/53).
Karena itu, tindakan merendahkan Baginda Rasulullah SAW, melecehkan Alquran dan mencampakkan hukum-hukum Allah, misalnya, jelas termasuk ke dalam tindakan sombong yang tidak bisa ditoleransi. Dalam hal ini, Baginda Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Abdullah bin Mas’ud ra, pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam kalbunya ada sikap sombong meski sebesar biji sawi.”
Seorang sahabat kemudian berkomentar, “Bagaimana jika seseorang menyukai pakaiannya tampak bagus, demikian pula alas kakinya (apakah termasuk sombong, pen.)?” Beliau kemudian menjawab, “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyukai keindahan. Sombong itu menolak kebenaran dan cenderung merendahkan orang lain.” (HR Muslim).
Jika menolak kebenaran saja terkategori sebagai sikap sombong, apalagi melecehkan Baginda Rasulullah SAW, Alquran atau hukum-hukum Allah SWT sebagai sumber kebenaran sejati.
Jika orang-orang sombong tidak akan masuk surga, artinya mereka bakal masuk neraka. Baginda Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kalian aku beritahu penduduk neraka? (Yaitu) Setiap orang yang kejam, kasar dan sombong.” (HR Mutaffaq ‘alaih).
Bukan saja tercela, kesombongan juga amat dibenci Allah SWT. Dalam hadits qudsi, bahkan Allah SWT menyampaikan ancaman keras terhadap orang-orang yang sombong. Baginda Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT berfirman: Kebesaran adalah pakaian-Ku dan kesombongan adalah jubah-Ku. Siapa saja yang merampas semua itu dari diri-Ku, Aku pasti akan mengazab dirinya.” (HR Muslim).
Lebih dari itu, orang sombong pada dasarnya mewarisi sikap iblis. Pasalnya, Iblislah yang pertama kali menunjukkan kesombongannya saat dia enggan memenuhi perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Adam as. Alasan iblis, Adam diciptakan dari tanah, sementara dia dari api, dan dengan itu dia merasa lebih mulia dan terhormat daripada Adam AS. (Lihat: QS al-A’raf [7]: 12; Shad [38]: 76). Dengan demikian siapapun yang menolak perintah Allah SWT atau tidak mau tunduk-patuh pada syariah-Nya dan berhukum dengan hukum-hukum-Nya pada dasarnya adalah orang-orang yang mewarisi kesombongan iblis.
Lalu bagaimana dengan manusia zaman kini yang tidak hanya menolak hukum-hukum Allah SWT, tetapi bahkan lewat sistem demokrasi yang mereka terapkan-yang memberikan kepada diri mereka kewenangan membuat hukum sendiri-seraya menistakan dan mencampakkan hukum-hukum Allah SWT?! Tentu mereka telah melampaui sifat-sifat Iblis. Na’udzu bilLahi min dzalik!
BACA SELENGKAPNYA »»  

Kamis, 25 Oktober 2012

tingkatan jiwA MANUSIA

Tingkatan ini bisa diartikan sebagai sebuah proses pendewasaan jiwa manusia berdasarkan usia. Namun tetap tidak menutup kemungkinan terjadinya proses yang luar biasa karena factor kemapanan ilmu dan kematangan jiwa. Bisa jadi masih muda namun sudah mencapai tingkat tinggi, atau sebaliknya. Bisa juga terjadi, sudah tinggi namun merosot tajam, atau sebaliknya tiba-tiba melompat pada tingkatan yang jauh lebih tinggi tanpa proses panjang. Kriteria ini semata merupakan alat introspeksi diri saja, dimanakah posisi kita.
Pertama, AMMARAH BI AS-SUU’; adalah pribadi-pribadi yang mudah sekali menurutkan nafsu dan emosi negatifnya dalam menghadapi apapun. Mengabaikan nurani dan akal. Perilaku asosial, penuh kebencian, mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Hanya menebarkan kesengsaraan dan kegelisahan. Dekat dengan pribadi yang seperti ini “hawa” diri juga ikut panas. Orientasi pemikirannya hanya pada ego diri. Yang penting senang, tidak peduli bagaimana orang lain.
Pribadi ini tidak mempedulikan apakah sikapnya akan berakibat seperti ini atau seperti itu, yang penting terturutilah keinginannya.
è(usia perilaku jiwa anak-anak yang tanpa akal; pokoknya senang)
Kedua, LAWWAAMAH; adalah pribadi-pribadi yang jika melakukan kesalahan diikuti dengan munculnya kesadaran bahwa yang dilakukan adalah hal yang salah atau disebut juga. Namun dikarenakan kelengahan dan keteledoran sehingga pengalaman itu tidak dijadikannya sebagai pelajaran. Maka terulang dan terulang kembalilah kesalahan meskipun kemudian disesalinya atau disebut juga “kapok lombok”.
Pribadi ini mulai menyadari akan dampak akibat yang ditimbulkan dari sikap dan perbuatannya. Namun karena kekuatan dorongan berbuat lebih besar sehingga seringkali perbuatannya kembali tanpa berpikir panjang.
è(usia perilaku jiwa remaja; antara kesadaran dan pengaruh kuat keinginan diri serta akibat budaya pop)
Ketiga, MULHAMAH; adalah pribadi-pribadi yang sudah mulai condong pada kebaikan yang didasari atas pengetahuan dan pengalaman hidupnya. Dimanapun dan kapanpun selalu condong pada kebenaran. Kemampuan untuk meletakkan secara tepat segala permasalahan dan fenomena yang dihadapinya. Meskipun pribadi ini terkadang juga masih berada dalam kebimbangan dalam bersikap.
Pribadi ini sudah sadar bahwa jika berbuat maka akan ada akibat yang menyertai. Namun kekuatan dorongan menyebabkannya kadang masih mengalami kebingungan dan jika melakukan diiringi dengan keterpaksaan menuruti keinginan diri atau ketergesaan. Dalam hal ketergesaan, sikap ini juga yang
menyebabkan munculnya sikap kekanak-kanakan karena telah hilangnya/terabaikannya/terlupakannya atas pengetahuan dan pemahamannya sendiri. Kadang bisa jadi sebenarnya sudah paham, tapi lebih mengedepankan keinginannya. Sikap ammarah yang kadang kembali muncul. “Grusa grusu” dalam mengambil tindakan.
è(usia perilaku jiwa dewasa; antara kesadaran dan dorongan atas kebutuhan diri)
Keempat, MUTHMA’INNAH; adalah pribadi-pribadi yang sudah mantap dan lurus dalam jalur yang tidak mudah diombang-ambingkan apapun. Pribadi ini memiliki keteguhan yang didasari atas pengetahuan yang mendalam dan latihan ruhani yang terus-menerus.
Pribadi ini memiliki pengetahuan yang sangat luas dan mendalam dan kesadaran bahwa segala sesuatu memiliki sistem sebab akibat yang sangat kompleks dan saling terkait. Tidak cepat mengambil keputusan dan tindakan hanya berdasar pemahaman sempit. Keluasan pemahaman dan pengetahuannya menyebabkan dirinya mejadi pribadi yang tenang dalam menghadapi apapun. Menelaah secara mendalam segala sebab munculnya suatu masalah atau fenomena sebelum mengambil sebuah kesimpulan. Keputusan atas tindakannya benar-benar diletakkan pada prinsip keadilan dengan upaya bersikap seadil-adilnya. Kemampuan untuk bisa menahan diri sebelum mengambil keputusan ini tentu diperoleh dari latihan ruhani yang kontinyu dan konsisten dengan sikap tidak mudah terpengaruh menjadikannya pribadi yang tenang dan kokoh.
è(usia memasuki out of produktif; karena kematangan pengalaman hidup, kepribadian ini sering muncul. Orang tua yang bijaksana). Namun kadang tidak semua orang tua mampu menemukan jati diri ini. Jika demikian, sebaiknya mulai meninggalkan interaksi dengan dunia agar jiwanya mulai terlepas dari hal-hal duniawi dan menjadi lebih tenang, terutama kaum awam – Jam’iyah Dzikir bisa menjadi alternative. Tenang dalam “ketidak tahuan” karena keterbatasan fisik dan psikis tentunya. Mau apalagi. Alternatifnya ya masuk pada “dunia tidak di dunia”. Jiwa yang lebih mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Ini bukan berarti metode dzikir itu untuk yang tua saja. SALAH. Justru jika masih muda akan menjadi pribadi luar biasa manakala mampu melatih diri agar tidak terikat pada duniawi – mampu sepi dalam keramaian, sehingga tidak mudah terpengaruh atas “fenomena dominan” sekalipun. Kemampuan untuk tidak terikat dengan duniawi inilah yang menyebabkannya memiliki sikap obyektif dan bijaksana. Tetap bersikap tenang namun kokoh dengan tindakan yang bisa dipertanggungjawabkan. Pemuda yang luar biasa. Muthma’innah sejati sebenarnya adalah pribadi yang tenang, tidak terikat keduniawian yang didasari atas wawasan yang luas dan mendalam sampai pada titik “tidak tahu”.
Kelima, RAADLIYAH; karena jiwa yang tenang maka akan muncul pribadi-pribadi yang sudah pada taraf “mencantolkan” segala fenomena kepada Sang Khaliq. Ini beda jauh dengan sikap putus asa. Pencantolan ini tidaklah “ujug-ujug” apalagi sekedar didorong atas sikap “sok”. Tapi didasari atas pemahaman yang sampai pada titik hakekat atas fenomena atau permasalahan. Di sinilah sering muncul persoalan karena “penyalahgunaan” tingkatan ini. Banyak sebab, tapi cenderung kepada sikap agar nampak “mulia”. Ada pribadi-pribadi yang sebenarnya karena tidak banyak punya pengetahuan dan pemahaman terhadap suatu persoalan akhirnya berucap “ridla”, “sabar”, “ikhlash”. Bisa juga sikap seolah “ridla” ini muncul dari pribadi-pribadi yang memang malas mencari pengetahuan dan pemahaman atau bahkan sudah merasa puas atas apa yang telah di dapatkannya. Akhirnya jumud, stagnan. Inilah fenomena yang saat ini banyak muncul di masyarakat. è(Minimal di detik terakhir jiwa sudah tidak lagi memikirkan duniawi. Rela atas segala fenomena dan masalah karena di depan mata terpampang hakekat kebenaran sejati. Tragis jika di detik terakhir baru menyadari bahwa selama ini dalam memandang dunia adalah salah). Namun ada juga jiwa yang sudah lepas dari unsur duniawi/jasadi – mati sebelum mati – karena kematangan dan kemantapan. Keenam, MARDLIYYAH; pribadi yang mendapatkan Ridla dari Sang Khaliq. Meridlai adalah hak prerogative Allah. Sebenarnya, adalah kewenangan Allah SWT untuk meletakkan Ridla-Nya kepada siapapun yang dikehendaki, baik kaya, miskin, bodoh, pandai, atau siapapun. Dikarenakan kewenangan-Nya inilah kita perlu waspada dalam bersikap kepada siapapun, karena bisa jadi orang tersebut adalah orang yang diridlai-Nya. Memang secara logika, orang yang sudah ridla maka akan diridlai. Secara keadilan, yang lebih dekat lebih diridlai-Nya. Namun sekali lagi, kita tidak bisa menilai atau memaksa atas siapa yang diridlai-Nya, apalagi GR telah mendapatkan ridla-Nya. è Mengingat bahwa Ridla merupakan hak Allah, maka kapanpun, dimanapun, diberikan kepada siapapun, semua terserah Allah SWT. Fenomenanya adalah munculnya sikap terlalu cepat berucap “aku sudah diridlai” dengan segala rentetan sikap ke-aku-annya ini. Atau sebaliknya, terlalu cepat menuduh bahwa si A itu tidak layak mendapatkan ridla dengan segala rentetan atas tuduhannya ini. RIDLA itu milik Allah, tidak layak diperebutkan apalagi disalahgunakan. Yang bisa dilakukan hanyalah berusaha mencarinya, secepatnya senyampang ada waktu. Harus saling membantu tapi tidak kemudian akhirnya saling “meng-aku”. Tidak perlu khawatir, karena masing-masing pasti akan mendapatkan, pada saatnya tiba. Entah di sini, atau nanti. Ketujuh, KAAMILAH; pribadi sempurna. Hanya ada satu pribadi, beliau Rasulullah SAW. ~~~wa allah a’lam bi ash-shawaab~~~
BACA SELENGKAPNYA »»  

konsep Manunggalin Kawulo Gusti

Seringkali dalam masyarakat kita temukan beberapa kenyataan mengenai masalah yang berkaitan dengan konsep Manunggalin Kawulo Gusti. Ada sebagian yang memvonis sebagai ajaran sesat, karena dirujukkan pada seorang tokoh Syech Siti Jenar atau sebutan lain Syech Abdul Jalil. Hal ini diakibatkan pemahaman bahwa Manunggaling Kawulo Gusti berarti menyatunya fisik (zat) antara kawulo (hamba) dengan Gusti (Tuhan), sehingga dianggap keluar dari rel keyakinan agama. Dengan demikian, bahwa Syech Siti Jenar dihukumi pembawa kesesatan, padahal hampir kita semua benar-benar tidak mengenal dengan baik sosoknya.
 Mungkin anda pernah menemui beberapa cara menyebutkan istilah Manunggaling Kawulo Gusti ditulis dengan “Manunggaling Kawulo kelawan Gusti”, atau “Manunggaling Kawulo ing Gusti”, atau “Manunggaling Kawulo lan Gusti”. Pendapat saya adalah dengan tetap mempertahankan “Manunggaling Kawulo Gusti” tanpa ada kata disela-selanya. Sebab bagi saya konsep itu sudah jelas dan tidak perlu ditambahi dengan kata Lan (dan), Kelawan (dan-Indo) atau “ing” (pada-indo). Sebab justru penambahan itu akan mengaburkan makna yang sesungguhnya.
       Baiklah mari kita bahas dari sisi bahasa. Manunggal merupakan kata andahan (sudah tidak kata dasar), dari sisi rimbag-nya (asal katanya), maka termasuk kata yang mendapat wuwuhan (tambahan) yaitu ater-ater, dan termasuk yang tidak mendapat hanuswara.
Ma + tunggal = Manunggal
Kata tunggal berarti satu, tetapi tidak menunjukkan urutan bilangan. Untuk menyebut urutan bilangan, lebih tepat menggunakan kata “siji”. Jadi tunggal lebih menunjukkan konsep “siji” yang murni, tanpa bilangan lain yang dibayangkan. Meski ada saja yang mengatakan “tunggal” itu bisa berarti “satu” yang didalamnya ada perjumbuhan beberapa unsur, tetapi unsur2 tersebut hilang sebutannya, sehingga tetap nampak “satu” dan unsur2 tersebut dianggap tidak ada. Misalnya ada istilah : Siji Ganjil, Loro Genep, Tri Tunggal. Saya tetap menggunakan arti tunggal itu satu yang tanpa urutan berikutnya atau unsur lainnya, karena memang tidak ada yang lain itu. Sementara kata manunggal tersebut kemudian berubah menjadi “manunggale” dan diperenak pengucapannya menjadi “manunggaling”, merupakan bentuk kata yang menunjukkan adanya aktivitas. Misalnya kata “dumadine” alam, itu berarti adanya aktivitas, proses “dadine” (jadinya) alam.
Imbuhan Ma- dalam kata manunggal tersebut menurut saya berarti “nindaake gawean”, proses, aktivitas ke arah yang tunggal. Coba perhatikan kata berikut :
Ma- Kidul = Mangidul, mengarah ke Kidul (selatan)
Ma- Kulon = Mangulon, mengarah ke Kulon (barat)
Dengan demikian kata “Manunggaling” adalah aktivitas, proses, kegiatan yang mengarah ke (yang) Tunggal.
Berikutnya adalah kata Kawulo. Merupakan bentuk akronim dari ka-hana-n sing kewuWULan aLA.  Ka-hana-n dalam bahasa Indonesia lebih tepat dengan “ADA” (being-Inggris) atau “ke-ADA-an”. (Silakan anda pelajari Martabat 7 dalam Serat Wirid Hidayat Jati). Dalam konsep Jawa, manusia adalah ADA (WUJUD) yang sudah “ketambahan jelek”, sudah tidak murni lagi, tidak suci lagi, karena raga, fisik dan sebagainya dalam diri manusia sudah jauh dari ke-ADA-an yang suci, baik suci dalam pengertian Ruh sebelum lahir, suci dari segala kotoran yang menghalangi.
Berikutnya adalah kata “Gusti”, ini kebalikan dari Kawulo, “Gusti” bisa diurai menjadi baGUS-baguse haTI, artinya hanya hati yang terbaiklah yang mampu menangkap WUJUD/ADA yang Mahasuci. Bukan bagus-baguse ati itu sendiri sebagai gusti yang Mahasuci (hati-hatilah dalam memahami ini). Mengapa? Dalam konsep Jawa yang disebut Allah itu adalah “tan kinoyo ngopo”, tak dapat diumpama-umpamakan seperti sesuatu, oleh karena itu DIA Mahasuci dari usaha “di-kayak-kayak-kan”, diserupakan dengan ini dan itu. Mungkin anda pernah mendengar ungkapan begini “gusti Allah”, “gusti”, “gusti kang Mahasuci” dibedakan dalam perbincangan mistik Jawa. Tapi abaikan dulu perbedaan ungkapan ini. Jadi fokus pada yang dimaksud Gusti disitu adalah Gusti Yang Mahasuci, inggih Allah SWT.
Dengan demikian, rangkaian kata-kata tersebut dalam “Manunggaling Kawulo Gusti” saya artikan sebagai  :
1)      Proses nindakake/melakukan aktivitas, yang mengarah ke-Yang Maha Tunggal. Siapa yang melakukan itu? Ya Kawulo. Dengan apa? Ya Gusti, membagusi hati.
2)      Kawulo Nindakake/melakukan aktivitas, yang mengarah ke-Yang Maha Tunggal, Siapa Dia? ya Gusti Kang Mahasuci, Allah swt.
3)      Nindakake/melakukan aktivitas, yang dilakukan oleh Kawulo dengan murni/tunggal/lurus kepada Gusti Kang Mahasuci.
Mengapa saya bisa mengajukan beberapa pengertian? Karena (a) kata-kata itu disusun tidak dalam bentuk kalimat yang lumrah/mudah dipahami umum, oleh karena itu bisa dibaca dalam berbagai bentuk, namun (b) dengan mendasarkan pada penjabaran perkata, maka batas-batas pengartian rangkaian kata tersebut tidak boleh lepas dari maksud perkata.
       Semoga pemahaman saya ini bisa membantu dalam memahami konsep Manunggaling Kawulo Gusti yang sering diperdebatkan dan disesatkan. Apakah ada pemahaman saya di atas sebagai bentuk pemahaman yang sesat? Semoga tidak. Dan dalam penjabaran lebih luas lagi dalam bentuk aktivitas apa? Proses seperti apa, konsep tersebut dijalankan? Sehingga tidak menjadi wacana kosong di kepala semata, tanpa wujud konkrit.  untuk sekedar referensi filosof konsep tersebut klik link http://pshtbrondong.blogspot.com/2012/09/kimia-kebahagiaan-al-ghazali.html
BACA SELENGKAPNYA »»  

Pengertian Qodho dan Qodar

Qodho adalah ketetapan, ketentuan atau rencana Allah untuk segenap makhluknya, baik manusia, jin, hewan tumbuhan, gunung, langit, laut, dll.. Sedangkan taqdir adalah kenyataannya, kejadiannya. Kalau sudah terjadi disebutlah taqdir. Misalnya :

Qodho dan Qodar untuk Alam Sekitar :

  • Allah menetapkan (qodho) bahwa peredaran bumi mengelilingi matahari adalah 365 hari. Itulah Qodho. Pada kenyataannya (taqdirnya) memang berjalan seperti itu.
  • Allah menetapkan (Qodho) bahwa air itu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Pada kenyataannya (taqdirnya) memang demikian.

Antara qodo dan qadar atau taqdir pada alam tidak terjadi perubahan. Itulah sunnatullah (ketetapan Allah). Segenap makhluk, selain manusia dan jin tidak mempunyai pilihan, mereka harus taat kepada ketetapan Allah, terpaksa maupun sukarela.

Qodho-qodar untuk Manusia :
  • Allah menetapkan bahwa manusia hanya boleh beribadah kepada Allah. Itulah Qodho. Tetapi pada kenyataannya banyak juga manusia yang menyembah selain Allah. Itulah taqdir.
  • Allah menetapkan (qodho) bahwa setiap anak wajib berbuat ihsan kepada orangtuanya, tetapi pada kenyataannya (taqdirnya) ada juga anak yang durhaka kepada orangtuanya.
  • Pada saat bayi berusia empat bulan dalam kandungan, Allah menetapkan potensi-potensinya atau bakat-bakatnya. Besar kecilnya bakat ini untuk setiap bayi berbeda-beda. Itulah ketetapan (qodho) Allah. Nanti setelah anak itu dewasa akan berusaha mengembangkan potensi itu, sehingga ada orang yang menjadi pemain bola tingkat internasional. Itulah taqdir. Tetapi ada juga yang malas berlatih sehingga hanya  menjadi pemain bola tingkat kecamatan saja. Itupun taqir juga.

Qodho Allah untuk manusia sering berbeda dengan taqdirnya sebab manusia dengan akalnya mempunyai hak pilih, tetapi kadang-kadang pilihannya dipengaruhi oleh  nafsu syaithaniyah. Tidak heran kalau ada manusia yang menyembah batu, membunuh, dan berbuat maksiat lainnya.
BACA SELENGKAPNYA »»  

Senin, 08 Oktober 2012

Tarung Bebas

CERITA SESEPUH PSHT dan BERKEMBANGNYA PSHT sampai Skrng ( Pencak Silat Dor di Alon-alon Madiun ) Dulu setiap tahun selalu diadakan Pencak Silat dor di Alon-alon madiun,sekarang lebih dikenal dengan Tarung Bebas yg masih di lestarikan di daerah Kediri
& Probolinggo. Alkisah berdasarkan data-data dari sumber yg bisa dipercaya menyebutkan bahwa di era tahun 60an di adakan pertandingan Pencak Silat dor di Alon-alon Madiun,kemudian naiklah seorang pesilat tangguh yg sukar dikalahkan bahkan belum ada seorangpun yg bisa mengalahkannya di gladak jawara Pencak dor,beliau adalah Syeh Wulan dari Ponorogo.untuk catatan,dulu PSHT belum mengikuti pertandingan Pencak Silat dor karena PSHT lebih mementingkan pada pertandingan Pencak Silat yg resmi. Tetapi akhirnya PSHT mengikuti jg pertandingan Pencak Dor itu dikarenakan adanya perjanjian yg sangat memberatkan PSHT,bawasannya jika sampai matahari tenggelam tetapi Syeh Wulan tdk bisa dikalahkan maka semua perguruan Pencak Silat di Madiun tdk boleh mengembangkan sayap diluar kota & kabupaten madiun.banyak jago-jago silat yg ada di daerah
madiun,tetapi mereka tdk berani naik ke atas Gladak.melihat itu RM Sutomo Mangkujoyo mengumpulkan semua warga & siswa PSHT,setelah berkumpul segera RM Sutomo Mangkujoyo
bertanya,”siapa yg mau & sanggup menghadapi Syeh Wulan?”,kemudian teracunglah jari tangan dari warga PSHT yg duduk di belakang,ternyata yg mengacungkan jari itu adalah RM Imam Koessoepangat. Kemudian RM Sutomo Mangkujoyo tersenyum & memberikan restu untuk bertanding,bahkan eyang Badini melakukan Ritual dgn cara mendudukan RM Imam Koessoepangat diatas tampah yg ditaburi kacang hijau,dikarenakan pertandingan ini tdk hanya pertandingan kanuragan saja melainkan pertandingan kadigdayan.setelah selesai RM Imam Koessoepangat tdk segera menuju gladak pertandingan,melainkan beliau pulang untuk meminta doa restu pada sang Kanjeng Ibu,Raden Ayu Koesmiyatun,setelah mencium kedua kaki ibunya beliau pergi berziarah di makam ayahnya,Raden Mas Ambar Koessensi.barulah beliau pergi ke gladak pertandingan tanpa diantar saudara-saudara dr PSHT karena beliau sendiri yg meminta agar saudara PSHT lebih baik
menunggu kedatangannya saja di gladak pertandingan. Setelah beliau sampai beliau disambut oleh RM Sutomo Mangkujoyo & menepuk pundak beliau sambil berpesan,”mati lan uripe PSHT ana ing tanganmu,mula jeng andika kudu waspada lan waskita supaya den purih joyo kang sejati.”(mati & hidupnya PSHT ada ditanganmu sekarang,maka kamu harus waspada & pandai supaya memperoleh kemenangan yg sejati/tdk curang),RM Imam Koessoepangat mengangguk & mencium tangan RM Sutomo Mangkujoyo sebelum naik geladak. Setelah naik di geladak pertandingan beliau berbicara
kepada Syeh Wulan,”menopo kulo angsal ngaturaken panuwunan dumateng andika?”(apakah saya
boleh mengucapkan permintaan kepada anda?),Syeh Wulanpun menjawab”monggo.”(silahkan)
.”kulo nyarujuki bileh kawulo kawon sedoyo paguron wonten ing tlatah Madiun mboten bade
medal saking leladan Madiun,nanging bileh kawulo unggul ing jurit kawulo nyuwun supados santri-santri panjenengan mlebet lan tumut gegladen wonten ing PSHT,namung meniko kemawon panuwun kulo.”(saya menyetujui jika saya kalah semua perguruan yg ada di bumi madiun tdk akan keluar dr wilayah madiun,tetapi jika saya menang saya meminta agar santri-santri anda masuk & ikut latihan di PSHT,hanya itu permintaan saya),Syeh Wulan menyetujui permintaan itu & dimulailah pertandingan itu. Mungkin semua menyangka kalau pertandingan itu akan berjalan sengit & lama,tapi kenyataannya tidak,dalam waktu 1 menit 58 detik Syeh wulan sudah terkapar tidak dapat melanjutkan pertandingan lagi,maka keluarlah RM Imam Koessoepangat menjadi juara.kemudian di era tahun 70an Syeh Wulan bertandang ke Rumah RM Imam Koessoepangat,tidak ada permusuhan diantara mereka,semua melebur dalam canda & tawa,bahkan RM Imam Koessoepangat berkelakar pada Syeh Wulan,”pripun menawi kulo lan panjenengan gelud malih?”kata beliau sambil tertawa,Syeh Wulanpun jg tertawa lepas & sama sekali tdk ada dendam diantara mereka. Setelah itu mengijinkan santri-2 nya utk ikut bergabung Latihan dg PSHT dan mengakui serta mendukung PSHT Melebarkan Sayapnya keseluruh penjuru, dan sampai skr PSHT msh berkibar.

_Kecik Tak Ocak Acik...,Mrico Polo Tak Nggo Dakon..
Karep_q Tak Gawe Apik Yen Kok Tompo Olow Monggo Mawon.....
Dengan tahunya perjanjian antara m.Imam dan syeh wulan...ternyata ada dampak positif bagi perguruan lain yg ada di madiun.......dan ini jg di manfaatkan oleh pak warno utk mendirikan Perguruan baru di th 1964 dgn melatih para pemuda sumur bor secara sembunyi2 agar tdk di ketahui oleh pihak SH PANTI...

Dipakailah nama STK = Sekar Tepus Kaki agar semata2 tdk sama dan nama SH WINONGO pun di pakai th 1965.
Pada th 1966 nama SH Winongo di tambahkan kalimat ^TUNAS MUDA^ Sehingga menjadi P.SH Tunas Muda Winongo Madiun....th 1966 SHTMW di organisasikan.
Lidah memang tak bertulang itulah th 1903 di pakainya sbg berdirinya SHTMW dgn alasan meneruskan SH nya eyang suro...
BACA SELENGKAPNYA »»  
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...