
Manusia dapat dimatikan
akan tetapi manusia tidak dapat dikalahkan
selama manusia itu setia pada hatinya
atau ber-SH pada dirinya sendiri
Falsafah
Persaudaraan Setia Hati Terate itu ternyata sampai sekarang tetap bergaung dan
berhasil melambungkan PSHT sebagai sebuah organisasi yang berpangkal pada
“persaudaraan” yang kekal dan abadi.
Adalah
Ki Hadjar Hardjo Oetomo, lelaki kelahiran Madiun pada tahun 1890. Karena
ketekunannya mengabdi pada gurunya, yakni Ki Ngabehi Soerodiwiryo, terakhir ia
pun mendapatkan kasih berlebih dan berhasil menguasai hampir seluruh ilmu sang
guru hingga ia berhak menyandang predikat pendekar tingkat III dalam tataran
ilmu Setia Hati (SH). Itu terjadi di desa Winongo saat bangsa Belanda
mencengkeramkan kuku jajahannya di Indonesia.
Sebagai
seorang pendekar, Ki Hadjar Hardjo Oetomo pun berkeinginan luhur untuk
mendarmakan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. Untuk kebaikan sesama.
Untuk keselamatan sesama. Untuk keselamatan dunia. Tapi jalan yang dirintis
ternyata tidak semulus harapannya. Jalan itu berkelok penuh dengan aral
rintangan. Terlebih saat itu jaman penjajahan. Ya, sampai Ki Hadjar sendiri
terpaksa harus magang menjadi guru pada sekolah dasar di benteng Madiun, sesuai
beliau menamatkan bangku sekolahnya. Tidak betah menjadi guru, Ki Hadjar
beralih profesi sebagai Leerling Reambate di SS (PJKA/Kereta Api Indonesia saat
ini – red) Bondowoso, Panarukan, dan Tapen.
Memasuki
tahun 1906 terdorong oleh semangat pemberontakannya terhadap Negara Belanda –
karena atasan beliau saat itu banyak yang asli Belanda -, Ki Hadjar keluar lagi
dan melamar jadi mantri di pasar Spoor Madiun. Empat bulan berikutnya ia
ditempatkan di Mlilir dan berhasil diangkat menjadi Ajund Opsioner pasar
Mlilir, Dolopo, Uteran dan Pagotan.
Tapi
lagi-lagi Ki Hadjar didera oleh semangat berontakannya. Menginjak tahun 1916 ia
beralih profesi lagi dan bekerja di Pabrik gula Rejo Agung Madiun. Disinipun Ki
Hadjar hanya betah untuk sementara waktu. Tahun 1917 ia keluar lagi dan bekerja
di rumah gadai, hingga beliau bertemu dengan seorang tetua dari Tuban yang
kemudian memberi pekerjaan kepadanya di stasion Madiun sebagai pekerja harian.
Dalam
catatan acak yang berhasil dihimpun, di tempat barunya ini Ki Hadjar berhasil
mendirikan perkumpulan “Harta Jaya” semacam perkumpulan koperasi guna
melindungi kaumnya dari tindasan lintah darat. Tidak lama kemudian ketika VSTP
(Persatuan Pegawai Kereta Api) lahir, nasib membawanya ke arah keberuntungan
dan beliau diangkat menjadi Hoof Komisaris Madiun.
Senada
dengan kedudukan yang disandangnya, kehidupannya pun bertambah membaik.
Waktunya tidak sesempit seperti dulu-dulu lagi, saat beliau belum mendapatkan
kehidupan yang lebih layak. Dalam kesenggangan waktu yang dimiliki, Ki Hadjar
berusaha menambah ilmunya dan nyantrik pada Ki Ngabehi Soerodiwiryo.
Data
yang cukup bisa dipertanggungjawabkan menyebutkan dalam tahun-tahun inilah
Setia Hati (SH) mulai disebut-sebut untuk mengganti nama dari sebuah
perkumpulan silat yang semula bernama “Djojo Gendilo Cipto Mulyo”.
Masuk Sarikat Islam.
Memasuki
tahun 1922, jiwa pemberontakan Ki Hadjar membara lagi dan beliau bergabung
dengan Sarikat Islam (SI), untuk bersama-sama mengusir negara penjajah, malah
beliau sendiri sempat ditunjuk sebagai pengurus. Sedangkan di waktu senggang,
ia tetap mendarmakan ilmunya dan berhasil mendirikan perguruan silat yang
diberi nama SH Pencak Spor Club. Tepatnya di desa Pilangbangau – Kodya Madiun
Jawa Timur, kendati tidak berjalan lama karena tercium Belanda dan dibubarkan.
Namun
demikian semangat Ki Hadjar bukannya nglokro (melemah), tapi malah semakin
berkobar-kobar. Kebenciannya kepada negara penjajah kian hari kian bertambah.
Tipu muslihatpun dijalankan. Untuk mengelabuhi Belanda, SH Pencak Sport Club
yang dibubarkan Belanda, diam-diam dirintis kembali dengan siasat menghilangkan
kata “Pencak” hingga tinggal “SH Sport Club”. Rupanya nasib baik berpihak
kepada Ki Hadjar. Muslihat yang dijalankan berhasil, terbukti Belanda
membiarkan kegiatannya itu berjalan sampai beliau berhasil melahirkan murid
pertamanya yakni, Idris dari Dandang Jati Loceret Nganjuk, lalu Mujini,
Jayapana dan masih banyak lagi yang tersebar sampai Kertosono, Jombang,
Ngantang, Lamongan, Solo dan Yogyakarta.
Ditangkap Belanda.
Demikianlah,
hingga bertambah hari, bulan dan tahun, murid-murid Ki Hadjar pun kian
bertambah. Kesempatan ini digunakan oleh Ki Hadjar guna memperkokoh
perlawanannya dalam menentang penjajah Belanda. Sayang, pada tahun 1925 Belanda
mencium jejaknya dan Ki Hadjar Hardjo Oetomo ditangkap lalu dimasukkan dalam
penjara Madiun.
Pupuskah
semangat beliau ? Ternyata tidak. Bahkan semakin menggelegak. Dengan diam-diam
beliau berusaha membujuk rekan senasib yang ditahan di penjara untuk mengadakan
pemberontakan lagi. Sayangnya sebelum berhasil, lagi-lagi Belanda mencium
gelagatnya. Untuk tindakan pengamanan, Ki Hadjar pun dipindah ke penjara
Cipinang dan seterusnya dipindah di penjara Padang Panjang Sumatera. Ki Hadjar
baru bisa menghirup udara kebebasan setelah lima tahun mendekam di penjara dan
kembali lagi ke kampung halamannya, yakni Pilangbangau, Madiun.
Selang
beberapa bulan, setelah beliau menghirup udara kebebasan dan kembali ke kampung
halaman, kegiatan yang sempat macet, mulai digalakan lagi. Dengan tertatih
beliau terus memacu semangat dan mengembangkan sayapnya. Memasuki tahun 1942
bertepatan dengan datangnya Jepang ke Indonesia SH Pemuda Sport Club diganti
nama menjadi “SH Terate”. Konon nama ini diambil setelah Ki Hadjar
mempertimbangkan inisiatif dari salah seorang muridnya Soeratno Soerengpati.
Beliau merupakan salah seorang tokoh Indonesia Muda.
Selang
enam tahun kemudian yaitu tahun 1948 SH Terate mulai berkembang merambah ke
segenap penjuru. Ajaran SH Terate pun mulai dikenal oleh masyarakat luas. Dan
jaman kesengsaraanpun sudah berganti. Proklamasi kemerdekaan RI yang dikumandangkan
oleh Soekarno-Hatta dalam tempo singkat telah membawa perubahan besar dalam
segala aspek kehidupan. Termasuk juga didalamnya, kebebasan untuk bertindak dan
berpendapat. Atas prakarsa Soetomo Mangku Negoro, Darsono, serta saudara
seperguruan lainnya diadakan konferensi di Pilangbangau (di rumah Alm Ki Hadjar
Hardjo Oetomo). Dari konferensi itu lahirlah ide-ide yang cukup bagus, yakni SH
Terate yang semenjak berdirinya berstatus “Perguruan Pencak Silat” dirubah
menjadi organisasi “Persaudaraan Setia Hati Terate”. Selanjutnya Soetomo
Mangkudjajo diangkat menjadi ketuanya dan Darsono menjadi wakil ketua.
Tahun
1950, karena Soetomo Mangkudjojo pindah ke Surabaya, maka ketuanya diambil alih
oleh Irsad. Pada tahun ini pula Ki Hadjar Hardjo Oetomo adalah seorang tokoh
pendiri PSHT, mendapatkan pengakuan dari pemerintah Pusat dan ditetapkan
sebagai “Pahlawan Perintis Kemerdekaan” atas jasa-jasa beliau dalam perjuangan
menentang penjajah Belanda.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar