Seringkali dalam masyarakat kita temukan beberapa kenyataan mengenai masalah yang berkaitan dengan konsep Manunggalin Kawulo Gusti.
Ada sebagian yang memvonis sebagai ajaran sesat, karena dirujukkan pada
seorang tokoh Syech Siti Jenar atau sebutan lain Syech Abdul Jalil. Hal
ini diakibatkan pemahaman bahwa Manunggaling Kawulo Gusti berarti
menyatunya fisik (zat) antara kawulo (hamba) dengan Gusti (Tuhan),
sehingga dianggap keluar dari rel keyakinan agama. Dengan demikian,
bahwa Syech Siti Jenar dihukumi pembawa kesesatan, padahal hampir kita
semua benar-benar tidak mengenal dengan baik sosoknya.
Mungkin anda pernah menemui beberapa cara
menyebutkan istilah Manunggaling Kawulo Gusti ditulis dengan
“Manunggaling Kawulo kelawan Gusti”, atau “Manunggaling Kawulo ing
Gusti”, atau “Manunggaling Kawulo lan Gusti”. Pendapat
saya adalah dengan tetap mempertahankan “Manunggaling Kawulo Gusti”
tanpa ada kata disela-selanya. Sebab bagi saya konsep itu sudah jelas
dan tidak perlu ditambahi dengan kata Lan (dan), Kelawan (dan-Indo) atau
“ing” (pada-indo). Sebab justru penambahan itu akan mengaburkan makna
yang sesungguhnya.
Baiklah mari kita bahas dari sisi bahasa. Manunggal merupakan kata
andahan (sudah tidak kata dasar), dari sisi rimbag-nya (asal katanya),
maka termasuk kata yang mendapat wuwuhan (tambahan) yaitu ater-ater, dan
termasuk yang tidak mendapat hanuswara.
Ma + tunggal = Manunggal
Kata
tunggal berarti satu, tetapi tidak menunjukkan urutan bilangan. Untuk
menyebut urutan bilangan, lebih tepat menggunakan kata “siji”. Jadi
tunggal lebih menunjukkan konsep “siji” yang murni, tanpa bilangan lain
yang dibayangkan. Meski ada saja yang mengatakan “tunggal” itu bisa
berarti “satu” yang didalamnya ada perjumbuhan beberapa unsur, tetapi
unsur2 tersebut hilang sebutannya, sehingga tetap nampak “satu” dan
unsur2 tersebut dianggap tidak ada. Misalnya ada istilah : Siji Ganjil,
Loro Genep, Tri Tunggal. Saya tetap menggunakan arti tunggal itu satu
yang tanpa urutan berikutnya atau unsur lainnya, karena memang tidak ada
yang lain itu. Sementara kata manunggal tersebut kemudian berubah
menjadi “manunggale” dan diperenak pengucapannya menjadi “manunggaling”,
merupakan bentuk kata yang menunjukkan adanya aktivitas. Misalnya kata
“dumadine” alam, itu berarti adanya aktivitas, proses “dadine” (jadinya)
alam.
Imbuhan
Ma- dalam kata manunggal tersebut menurut saya berarti “nindaake
gawean”, proses, aktivitas ke arah yang tunggal. Coba perhatikan kata
berikut :
Ma- Kidul = Mangidul, mengarah ke Kidul (selatan)
Ma- Kulon = Mangulon, mengarah ke Kulon (barat)
Dengan demikian kata “Manunggaling” adalah aktivitas, proses, kegiatan yang mengarah ke (yang) Tunggal.
Berikutnya
adalah kata Kawulo. Merupakan bentuk akronim dari ka-hana-n sing
kewuWULan aLA. Ka-hana-n dalam bahasa Indonesia lebih tepat dengan
“ADA” (being-Inggris) atau “ke-ADA-an”. (Silakan anda pelajari Martabat 7
dalam Serat Wirid Hidayat Jati). Dalam konsep Jawa, manusia adalah ADA
(WUJUD) yang sudah “ketambahan jelek”, sudah tidak murni lagi, tidak
suci lagi, karena raga, fisik dan sebagainya dalam diri manusia sudah
jauh dari ke-ADA-an yang suci, baik suci dalam pengertian Ruh sebelum
lahir, suci dari segala kotoran yang menghalangi.
Berikutnya
adalah kata “Gusti”, ini kebalikan dari Kawulo, “Gusti” bisa diurai
menjadi baGUS-baguse haTI, artinya hanya hati yang terbaiklah yang mampu
menangkap WUJUD/ADA yang Mahasuci. Bukan bagus-baguse ati itu sendiri
sebagai gusti yang Mahasuci (hati-hatilah dalam memahami ini). Mengapa?
Dalam konsep Jawa yang disebut Allah itu adalah “tan kinoyo ngopo”, tak
dapat diumpama-umpamakan seperti sesuatu, oleh karena itu DIA Mahasuci
dari usaha “di-kayak-kayak-kan”, diserupakan dengan ini dan itu. Mungkin
anda pernah mendengar ungkapan begini “gusti Allah”, “gusti”, “gusti
kang Mahasuci” dibedakan dalam perbincangan mistik Jawa. Tapi abaikan
dulu perbedaan ungkapan ini. Jadi fokus pada yang dimaksud Gusti disitu
adalah Gusti Yang Mahasuci, inggih Allah SWT.
Dengan demikian, rangkaian kata-kata tersebut dalam “Manunggaling Kawulo Gusti” saya artikan sebagai :
1)
Proses nindakake/melakukan aktivitas, yang mengarah ke-Yang Maha
Tunggal. Siapa yang melakukan itu? Ya Kawulo. Dengan apa? Ya Gusti,
membagusi hati.
2) Kawulo Nindakake/melakukan aktivitas, yang mengarah ke-Yang Maha Tunggal, Siapa Dia? ya Gusti Kang Mahasuci, Allah swt.
3) Nindakake/melakukan aktivitas, yang dilakukan oleh Kawulo dengan murni/tunggal/lurus kepada Gusti Kang Mahasuci.
Mengapa
saya bisa mengajukan beberapa pengertian? Karena (a) kata-kata itu
disusun tidak dalam bentuk kalimat yang lumrah/mudah dipahami umum, oleh
karena itu bisa dibaca dalam berbagai bentuk, namun (b) dengan
mendasarkan pada penjabaran perkata, maka batas-batas pengartian
rangkaian kata tersebut tidak boleh lepas dari maksud perkata.
Semoga pemahaman saya ini bisa membantu dalam memahami konsep Manunggaling Kawulo Gusti yang sering diperdebatkan dan disesatkan.
Apakah ada pemahaman saya di atas sebagai bentuk pemahaman yang sesat?
Semoga tidak. Dan dalam penjabaran lebih luas lagi dalam bentuk
aktivitas apa? Proses seperti apa, konsep tersebut dijalankan? Sehingga
tidak menjadi wacana kosong di kepala semata, tanpa wujud konkrit. untuk sekedar referensi filosof konsep tersebut klik link http://pshtbrondong.blogspot.com/2012/09/kimia-kebahagiaan-al-ghazali.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar