Tingkatan ini bisa diartikan
sebagai sebuah proses pendewasaan jiwa manusia berdasarkan usia. Namun
tetap tidak menutup kemungkinan terjadinya proses yang luar biasa karena
factor kemapanan ilmu dan kematangan jiwa. Bisa jadi masih muda namun
sudah mencapai tingkat tinggi, atau sebaliknya. Bisa juga terjadi, sudah
tinggi namun merosot tajam, atau sebaliknya tiba-tiba melompat pada
tingkatan yang jauh lebih tinggi tanpa proses panjang. Kriteria ini
semata merupakan alat introspeksi diri saja, dimanakah posisi kita.
Pertama, AMMARAH BI AS-SUU’;
adalah pribadi-pribadi yang mudah sekali menurutkan nafsu dan emosi
negatifnya dalam menghadapi apapun. Mengabaikan nurani dan akal.
Perilaku asosial, penuh kebencian, mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Hanya menebarkan kesengsaraan dan kegelisahan. Dekat dengan pribadi yang
seperti ini “hawa” diri juga ikut panas. Orientasi pemikirannya hanya
pada ego diri. Yang penting senang, tidak peduli bagaimana orang lain.
Pribadi ini tidak mempedulikan
apakah sikapnya akan berakibat seperti ini atau seperti itu, yang
penting terturutilah keinginannya.
è(usia perilaku jiwa anak-anak yang tanpa akal; pokoknya senang)
Kedua, LAWWAAMAH; adalah
pribadi-pribadi yang jika melakukan kesalahan diikuti dengan munculnya
kesadaran bahwa yang dilakukan adalah hal yang salah atau disebut juga.
Namun dikarenakan kelengahan dan keteledoran sehingga pengalaman itu
tidak dijadikannya sebagai pelajaran. Maka terulang dan terulang
kembalilah kesalahan meskipun kemudian disesalinya atau disebut juga
“kapok lombok”.
Pribadi ini mulai menyadari
akan dampak akibat yang ditimbulkan dari sikap dan perbuatannya. Namun
karena kekuatan dorongan berbuat lebih besar sehingga seringkali
perbuatannya kembali tanpa berpikir panjang.
è(usia perilaku jiwa remaja; antara kesadaran dan pengaruh kuat keinginan diri serta akibat budaya pop)
Ketiga, MULHAMAH; adalah
pribadi-pribadi yang sudah mulai condong pada kebaikan yang didasari
atas pengetahuan dan pengalaman hidupnya. Dimanapun dan kapanpun selalu
condong pada kebenaran. Kemampuan untuk meletakkan secara tepat segala
permasalahan dan fenomena yang dihadapinya. Meskipun pribadi ini
terkadang juga masih berada dalam kebimbangan dalam bersikap.
Pribadi ini sudah sadar bahwa
jika berbuat maka akan ada akibat yang menyertai. Namun kekuatan
dorongan menyebabkannya kadang masih mengalami kebingungan dan jika
melakukan diiringi dengan keterpaksaan menuruti keinginan diri atau
ketergesaan. Dalam hal ketergesaan, sikap ini juga yang
menyebabkan munculnya sikap
kekanak-kanakan karena telah hilangnya/terabaikannya/terlupakannya atas
pengetahuan dan pemahamannya sendiri. Kadang bisa jadi sebenarnya sudah
paham, tapi lebih mengedepankan keinginannya. Sikap ammarah yang kadang
kembali muncul. “Grusa grusu” dalam mengambil tindakan.
è(usia perilaku jiwa dewasa; antara kesadaran dan dorongan atas kebutuhan diri)
Keempat, MUTHMA’INNAH; adalah
pribadi-pribadi yang sudah mantap dan lurus dalam jalur yang tidak mudah
diombang-ambingkan apapun. Pribadi ini memiliki keteguhan yang didasari
atas pengetahuan yang mendalam dan latihan ruhani yang terus-menerus.
Pribadi ini memiliki
pengetahuan yang sangat luas dan mendalam dan kesadaran bahwa segala
sesuatu memiliki sistem sebab akibat yang sangat kompleks dan saling
terkait. Tidak cepat mengambil keputusan dan tindakan hanya berdasar
pemahaman sempit. Keluasan pemahaman dan pengetahuannya menyebabkan
dirinya mejadi pribadi yang tenang dalam menghadapi apapun. Menelaah
secara mendalam segala sebab munculnya suatu masalah atau fenomena
sebelum mengambil sebuah kesimpulan. Keputusan atas tindakannya
benar-benar diletakkan pada prinsip keadilan dengan upaya bersikap
seadil-adilnya. Kemampuan untuk bisa menahan diri sebelum mengambil
keputusan ini tentu diperoleh dari latihan ruhani yang kontinyu dan
konsisten dengan sikap tidak mudah terpengaruh menjadikannya pribadi
yang tenang dan kokoh.
è(usia memasuki out of
produktif; karena kematangan pengalaman hidup, kepribadian ini sering
muncul. Orang tua yang bijaksana). Namun kadang tidak semua orang tua
mampu menemukan jati diri ini. Jika demikian, sebaiknya mulai
meninggalkan interaksi dengan dunia agar jiwanya mulai terlepas dari
hal-hal duniawi dan menjadi lebih tenang, terutama kaum awam – Jam’iyah
Dzikir bisa menjadi alternative. Tenang dalam “ketidak tahuan” karena
keterbatasan fisik dan psikis tentunya. Mau apalagi. Alternatifnya ya
masuk pada “dunia tidak di dunia”. Jiwa yang lebih mendekatkan diri
kepada Sang Khaliq. Ini bukan berarti metode dzikir itu untuk yang tua
saja. SALAH. Justru jika masih muda akan menjadi pribadi luar biasa
manakala mampu melatih diri agar tidak terikat pada duniawi – mampu sepi
dalam keramaian, sehingga tidak mudah terpengaruh atas “fenomena
dominan” sekalipun. Kemampuan untuk tidak terikat dengan duniawi inilah
yang menyebabkannya memiliki sikap obyektif dan bijaksana. Tetap
bersikap tenang namun kokoh dengan tindakan yang bisa
dipertanggungjawabkan. Pemuda yang luar biasa. Muthma’innah sejati
sebenarnya adalah pribadi yang tenang, tidak terikat keduniawian yang
didasari atas wawasan yang luas dan mendalam sampai pada titik “tidak
tahu”.
Kelima, RAADLIYAH; karena jiwa
yang tenang maka akan muncul pribadi-pribadi yang sudah pada taraf
“mencantolkan” segala fenomena kepada Sang Khaliq. Ini beda jauh dengan
sikap putus asa. Pencantolan ini tidaklah “ujug-ujug” apalagi sekedar
didorong atas sikap “sok”. Tapi didasari atas pemahaman yang sampai pada
titik hakekat atas fenomena atau permasalahan. Di sinilah sering muncul
persoalan karena “penyalahgunaan” tingkatan ini. Banyak sebab, tapi
cenderung kepada sikap agar nampak “mulia”. Ada pribadi-pribadi yang
sebenarnya karena tidak banyak punya pengetahuan dan pemahaman terhadap
suatu persoalan akhirnya berucap “ridla”, “sabar”, “ikhlash”. Bisa juga
sikap seolah “ridla” ini muncul dari pribadi-pribadi yang memang malas
mencari pengetahuan dan pemahaman atau bahkan sudah merasa puas atas apa
yang telah di dapatkannya. Akhirnya jumud, stagnan. Inilah fenomena
yang saat ini banyak muncul di masyarakat. è(Minimal di detik terakhir
jiwa sudah tidak lagi memikirkan duniawi. Rela atas segala fenomena dan
masalah karena di depan mata terpampang hakekat kebenaran sejati. Tragis
jika di detik terakhir baru menyadari bahwa selama ini dalam memandang
dunia adalah salah). Namun ada juga jiwa yang sudah lepas dari unsur
duniawi/jasadi – mati sebelum mati – karena kematangan dan kemantapan.
Keenam, MARDLIYYAH; pribadi yang mendapatkan Ridla dari Sang Khaliq.
Meridlai adalah hak prerogative Allah. Sebenarnya, adalah kewenangan
Allah SWT untuk meletakkan Ridla-Nya kepada siapapun yang dikehendaki,
baik kaya, miskin, bodoh, pandai, atau siapapun. Dikarenakan
kewenangan-Nya inilah kita perlu waspada dalam bersikap kepada siapapun,
karena bisa jadi orang tersebut adalah orang yang diridlai-Nya. Memang
secara logika, orang yang sudah ridla maka akan diridlai. Secara
keadilan, yang lebih dekat lebih diridlai-Nya. Namun sekali lagi, kita
tidak bisa menilai atau memaksa atas siapa yang diridlai-Nya, apalagi GR
telah mendapatkan ridla-Nya. è Mengingat bahwa Ridla merupakan hak
Allah, maka kapanpun, dimanapun, diberikan kepada siapapun, semua
terserah Allah SWT. Fenomenanya adalah munculnya sikap terlalu cepat
berucap “aku sudah diridlai” dengan segala rentetan sikap ke-aku-annya
ini. Atau sebaliknya, terlalu cepat menuduh bahwa si A itu tidak layak
mendapatkan ridla dengan segala rentetan atas tuduhannya ini. RIDLA itu
milik Allah, tidak layak diperebutkan apalagi disalahgunakan. Yang bisa
dilakukan hanyalah berusaha mencarinya, secepatnya senyampang ada waktu.
Harus saling membantu tapi tidak kemudian akhirnya saling “meng-aku”.
Tidak perlu khawatir, karena masing-masing pasti akan mendapatkan, pada
saatnya tiba. Entah di sini, atau nanti. Ketujuh, KAAMILAH; pribadi
sempurna. Hanya ada satu pribadi, beliau Rasulullah SAW. ~~~wa allah
a’lam bi ash-shawaab~~~
Tidak ada komentar :
Posting Komentar